Post

Penipuan

Kejahatan penipuan (bedrog) dimuat dalam bab XXV buku II KUHP, dari pasal 378 s/d pasal 395. Title asli bab ini adalah bedrog yang oleh banyak ahli diterjemahkan sebagai penipuan, atau ada juga yang menerjemahkannya sebagai perbuatan curang. Tresna menyebutnya berkicau. Perkataan penipuan itu sendiri mempunyai dua pengertian, yakni:

  1. Penipuan dalam arti luas, yaitu semua kejahatan yang dirumuskan dalam Bab XXV KUHP.
  2. Penipuan dalam arti sempit, ialah bentuk penipuan yang dirumuskan dalam pasal 378 (bentuk pokoknya) dan 379 (bentuk khususnya), atau yang biasa disebut dengan oplichting.

Adapun seluruh ketentuan tindak pidana dalam bab XXV disebut dengan penipuan karena dalam semua tindak pidana di sini terdapat perbuatan-perbuatan yang bersifat menipu atau membohongi orang lain.
Di antara sekian banyak kejahatan dalam bab XXV ini, ada yang diberikan kualifikasi tertentu, baik menurut UU maupun yang timbul dalam praktik. Seperti rumusan pasal 378 disebut dalam pasal itu sebagai penipuan, dan pasal 379 orang disebut dalam praktik dikenal dengan sebutan/kualifikasi sebagai flessentrekerij (penarikan botol-botol) yang oleh Prodjodikoro (1980:44) disebutnya dengan ngemplang.

A. PENIPUAN DALAM BENTUK POKOK
Ketentuan dalam pasal 378 ini adalah merumuskan tentang pengertian penipuan (oplichting) itu sendiri. Rumusan ini adalah bentuk pokoknya, dan ada penipuan dalam arti sempit dalam bentuk khusus yang meringankan. Karena adanya unsur khusus yang bersifat meringankan sehingga diancam pidana sebagai penipuan ringan (pasal 379). Sedangkan penipuan dalam arti sempit tidak ada dalam bentuk diperberat. Pasal 378 merumuskan sebagai berikut:

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu; dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.

Rumusan penipuan tersebut terdiri dari unsur-unsur:
1. Unsur-unsur objektif:
- Perbuatan: menggerakkan;
- Yang digerakkan: orang.
- Perbuatan itu ditujukan pada:
  • orang lain menyerahkan benda,
  • orang lain memberi hutang, dan
  • orang lain menghapuskan piutang.
- Cara melakukan perbuatan menggerakkan dengan:
  • memakai nama palsu,
  • memakai tipu muslihat,
  • memakai martabat palsu, dan
  • memakai rangkaian kebohongan.
2. Unsur-unsur subjektif:
- Maksud untuk menguntungkan diri sendiri, atau maksud untuk menguntungkan orang lain.
- Dengan melawan hukum.

ad.1. Unsur-Unsur Objektif Penipuan
a. Perbuatan Menggerakkan (Bewegen)
Kata bewegen selain diterjemahkan dengan menggerakkan, ada juga sebagian ahli dengan menggunakan istilah membujuk atau menggerakkan hati. KUHP sendiri tidak memberikan keterangan apapun tentang istilah bewegen itu. Menggerakkan dapat didefinisikan sebagai perbuatan mempengaruhi atau menanamkan pengaruh pada orang lain. Objek yang dipengaruhi adalah kehendak seseorang. Perbuatan menggerakkan adalah berupa perbuatan yang abstrak, dan akan terlihat bentuknya secara konkret bila dihubungkan dengan cara melakukannya. Cara melakukannya inilah sesungguhnya yang lebih berbentuk, yang bisa dilakukan dengan perbuatan-perbuatan yang benar dan dengan perbuatan yang tidak benar. Dengan perbuatan yang benar, misalnya dalam pasal 55 (1) KUHP membujuk atau menganjurkan untuk melakukan tindak pidana dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan dan lain sebagainya. Sedangkan di dalam penipuan, menggerakkan adalah dengan cara-cara yang di dalamnya mengandung ketidakbenaran, palsu dan bersifat membohongi atau menipu.
Mengapa menggerakkan pada penipuan ini harus dengan cara-cara yang palsu dan bersifat membohongi atau tidak benar? Karena kalau menggerakkan dilakukan dengan cara yang sesungguhnya, cara yang benar dan tidak palsu, maka tidak mungkin kehendak orang lain (korban) akan menjadi terpengaruh, yang pada akhirnya ia menyerahkan benda, memberi hutang maupun menghapuskan piutang. Tujuan yang ingin dicapai petindak dalam penipuan hanya mungkin bisa dicapai dengan melalui perbuatan menggerakkan yang menggunakan cara-cara yang tidak benar demikian.
Ketentuan mengenai penyertaan (deelneming, pasal 55) dalam bentuk pelaku penganjur (uitlokken), perbuatannya adalah menganjurkan. Walaupun antara perbuatan menggerakkan dan menganjurkan di satu pihak mempunyai sifat yang sama yaitu mempengaruhi kehendak orang lain, tapi di lain pihak mempunyai beberapa perbedaan. Perbedaan ini adalah:
  1. Bagi perbuatan menggerakkan dalam penipuan dilakukan melalui 4 cara, cara-cara yang mana di dalamnya mengandung suatu ketidakbenaran atau palsu. Sedangkan perbuatan menganjurkan bagi pelaku penganjur dilakukan dengan menggunakan cara-cara sebagaimana yang disebutkan secara limitatief dalam pasal 55 ayat (1) KUHP, berupa cara-cara yang di dalamnya mengandung suatu kebenaran.
  2. Perbuatan menggerakkan dalam penipuan ditujukan pada 3 hal yakni orang menyerahkan benda, memberi hutang dan menghapuskan piutang. Sedangkan perbuatan menganjurkan dalam hal pelaku penganjur ditujukan pada orang lain melakukan tindak pidana.
Seseorang yang telah melakukan perbuatan menggerakkan orang lain, tidak pasti orang itu menjadi terpengaruh kehendaknya, dan lalu menyerahkan benda, memberi hutang, dan menghapuskan piutang. Apabila perbuatan menggerakkan telah terjadi, dan tidak membuat terpengaruhnya kehendak korban yang diikuti perbuatan menyerahkan benda oleh orang lain itu, maka di sini tidak terjadi penipuan, yang terjadi adalah percobaan penipuan. Penipuan adalah berupa suatu tindak pidana yang untuk terwujudnya/selesainya bergantung pada perbuatan orang lain, dan bukan pada petindak.
Sehubungan dengan hal ini ada arrest HR (10-12-1928) yang menyatakan bahwa:
Untuk selesainya kejahatan peni¬puan diperlukan adanya perbuatan orang lain selain penipu. Terdapat suatu permulaan pelaksanaan jika perbuatan itu tidak memerlukan perbuatan lain lagi dari petindak.

Suatu permulaan pelaksanaan yang dimaksudkan HR itu adalah tentunya telah terjadinya suatu percobaan penipuan. Perihal sebagaimana dalam putusan HR tersebut ditegaskan kembali dalam putusan lainnya (27-3-1939) yang menyatakan bahwa “ada percobaan penipuan apabila pelaku dengan maksud menguntungkan diri secara melawan hukum, telah memakai nama palsu, martabat palsu ataupun rangkaian kebohongan”.
Adanya perbuatan orang lain sebagaimana yang dimaksudkan HR tersebut di atas adalah berupa akibat dari perbuatan menggerakkan akibat mana adalah merupakan syarat untuk selesainya/terwujudnya penipuan. Dilihat dari sudut ini, maka sesungguhnya penipuan ini adalah berupa tindak pidana materiil. Akan tetapi apabila dilihat bahwa dalam rumusan penipuan disebutkan unsur perbuatan yang dilarang, penipuan dapat dikategorikan juga ke dalam tindak pidana formil.
Sesungguhnya penipuan lebih condong ke arah tindak pidana materiil daripada tindak pidana formil, dengan alasan pahwa terwujudnya perbuatan yang dilarang (menggerakkan) bukan menjadi syarat untuk selesai/terwujudnya penipuan secara sempurna, melainkan pada terwujudnya akibat perbuatan yakni berupa orang lain menyerahkan benda, memberi hutang, dan menghapuskan piutang.

b. Yang Digerakkan adalah Orang
Pada umumnya orang yang menyerahkan benda, orang yang memberi hutang dan orang yang menghapuskan piutang sebagai korban penipuan adalah orang yang digerakkan itu sendiri. Tetapi hal itu bukan merupakan keharusan, karena dalam rumusan pasal 378 tidak sedikitpun menunjukkan bahwa orang yang menyerahkan benda, memberi hutang maupun menghapuskan piutang adalah harus orang yang digerakkan.
Orang yang menyerahkan benda, memberi hutang maupun menghapuskan piutang bisa juga oleh selain yang digerakkan, asalkan orang lain (pihak ketiga) menyerahkan benda itu atas perintah/kehendak orang yang digerakkan. Artinya penyerahan benda itu dapat dilakukan dengan perantaraan orang lain selain orang yang digerakkan.
Kepada siapa barang diserahkan, atau untuk kepentingan siapa diberinya hutang atau dihapusnya piutang, tidak perlu hams kepada atau bagi kepentingan orang yang menggerakkan/petindak. Penyerahan benda dapat dilakukan kepada orang lain selain yang menggerakkan, asalkan perantaraan ini adalah orang yang dikehendaki petindak. Untuk ini ada arrest HR (24-7-1928) yang menyatakan bahwa “penyerahan merupakan unsur yang konstitutif dari kejahatan ini dan tidak perlu bahwa penyerahan dilakukan pada pelaku sendiri” .
Dari unsur maksud menguntungkan yang ditujukan dalam 2 hal, yaitu diri sendiri atau orang lain, maka dapat dipastikan bahwa dalam penipuan bukan saja untuk kepentingan petindak semata-mata melainkan dapat juga untuk kepentingan orang lain.

c. 1) Menyerahkan benda
Pengertian benda dalam penipuan mempunyai arti yang sarna dengan benda dalam pencurian dan penggelapan, yakni sebagai benda yang berwujud dan bergerak.
Pada pencurian, pemerasan, pengancaman, dan kejahatan terhadap harta benda lainnya, di mana secara tegas disebutnya unsur milik orang lain bagi benda objek kejahatan, berbeda dengan penipuan di mana tidak menyebutkan secara tegas adanya unsur yang demikian. Oleh karena itu, dapat diartikan bahwa pada penipuan benda yang diserahkan dapat terjadi terhadap benda miliknya sendiri asalkan di dalam hal ini terkandung maksud pelaku untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Pendapat ini didasarkan pada, bahwa dalam penipuan menguntungkan diri tidak perlu menjadi kenyataan, karena dalam hal ini hanya unsur maksudnya saja yang ditujukan untuk menambah kekayaan.
Apakah mungkin maksud itu ada dalam peristiwa orang lain menyerahkan benda milik si penipu sendiri? Dalam praktik mungkin saja peristiwa demikian terjadi, sebagai contoh sebagai berikut:
1. Bila si penipu tidak mengetahui bahwa benda itu miliknya sendiri, ia mengira milik orang lain;
2. Si penipu mengetahui benda itu miliknya sendiri, tapi di dalam kekuasaan orang lain karena misalnya digunakan sebagai jaminan hutang dan digadaikan.
Didasarkan pendapat tersebut di atas, penipuan bisa terjadi pada kedua contoh tersebut di atas.
Akan tetapi pandangan akan berbeda, apabila dilihat dati sudut lain, yaitu bahwa unsur maksud sebagai salah satu bentuk kesengajaan dalam rumusan penipuan ditempatkan di muka baik unsur menguntungkan maupun unsur benda. Dengan begitu berarti sebelum petindak berbuat menggerakkan orang ia hams sadar bahwa agar menguntungkan itu dapat dicapai, harus dengan orang menyerahkan benda bukan miliknya. Jadi di sini kesengajaan petindak yang ditujukan untuk maksud menguntungkan diri itu, sekaligus pula ditujukan bahwa dengan demikian benda itu milik orang lain, adalah tidak logis menambah kekayaan dengan orang lain menyerahkan benda milik sendiri.
Di atas tadi dikatakan bahwa penipuan terjadi bukan oleh sebab telah terjadinya perbuatan menggerakkan, melainkan pada telah terjadi perbuatan menyerahkan benda oleh orang lain. Menyerahkan benda baru dianggap terjadi/selesai apabila dari perbuatan itu, telah sepenuhnya berpindahnya kekuasaan atas benda itu ke dalam kekuasaan orang yang menerima. Dalam hal ini berarti telah putusnya hubungan kekuasaan (menguasai) antara orang yang menyerahkan dengan benda yang diserahkan. Telah berpindahnya kekuasaan atas benda ke dalam kekuasaan petindak atau orang lain atas kehendak petindak, bilamana ia penerima telah dapat melakukan segala sesuatu perbuatan terhadap benda itu secara langsung tanpa ia harus melakukan perbuatan lain terlebih dulu.
Apabila perbuatan (orang lain) menyerahkan benda belum selesai, belum berakibat berpindahnya kekuasaan atasnya, atau perbuatan menyerahkan itu tidak terwujud sarna sekali, sedangkan perbuatan menggerakkan telah terjadi, maka telah terjadi percobaan penipuan.
Pada pencurian yang lalu, telah diutarakan bahwa untuk selesainya pencurian disyaratkan pada selesainya perbuatan mengarnbil dalam artian benda objek kejahatan telah sepenuhnya berpindah kekuasaannya ke tangan petindaknya. Dalam hal ini ada persamaannya dengan penipuan, yaitu untuk selesainya dua kejahatan ini diperlukan telah berpindahnya kekuasaan atas benda objek kejahatan. Tetapi penyebabnya yang berbeda. Pada pencurian disebabkan oleh perbuatan mengambil, suatu perbuatan yang dilakukan sendiri oleh petindaknya. Sedangkan pada penipuan oleh sebab perbuatan menyerahkan, suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang bukan petindak.
Pengertian perbuatan menyerahkan adalah suatu pengertian menurut arti kata yang sebenarnya. Berdasarkan pengertian yang demikian ini, maka tidak mungkin penipuan tadi terjadi atas benda-benda yang tidak bergerak dan tidak berwujud.

c. 2) Memberi hutang, dan 3) Menghapuskan piutang
Perkataan hutang di sini tidak sama artinya dengan hutang piutang, melainkan diartikan sebagai suatu perjanjian atau perikatan. Hoge Raad dalam suatu arrestnya (30-1-1928) menyatakan bahwa “yang dimaksud dengan hutang adalah suatu perikatan, misalnya menyetor sejumlah uang jaminan”.
Oleh karena itulah memberi hutang tidak dapat diartikan sebagai memberi pinjaman uang belaka, melainkan diberi pengertian yang lebih luas sebagai membuat suatu perikatan hukum yang membawa akibat timbulnya kewajiban bagi orang lain untuk menyerahkan/membayar sejumlah uang tertentu. Misalnya dalam suatu jual beli, timbul suatu kewajiban pembeli untuk membayar/menyerahkan sejumlah uang tertentu yakni harga bend a itu kepada penjual.
Demikian juga dengan istilah utang dalam kalimat meng¬hapuskan piutang mempunyai arti suatu perikatan. Menghapuskan piutang mempunyai pengertian yang lebih luas dari sekedar membebaskan kewajiban dalam hal membayar hutang atau pinjaman uang belaka. Menghapuskan piutang adalah menghapuskan segal a macam perikatan hukum yang sudah ada, di mana karenanya menghilangkan kewajiban hukum penipu untuk menyerahkan sejumlah uang tertentu pada korban atau orang lain.
Suatu contoh, dalam suatu perjanjian jual beli di mana benda telah diserahkan oleh penjual kepada pernbeli sedangkan uang pembayarannya belum. Pada saat dan kejadian demikian, di mana pembeli masih mempunyai kewajiban untuk menyerahkan uang harga pembayaran, dapat terjadi perjanjian itu dibatalkan. Dengan pembatalan itu berarti hapusnya kewajiban pembeli untuk menyerahkan uang harga tadi. Andai kata pembeli dengan upaya seperti tipu muslihat atau rangkaian kebohongan menggerakkan penjual (untuk membatalkan perjanjian itu), seperti mengatakan bahwa bendanya akan dikembalikan karena ada kecacatan dan akan diberikan ganti rugi, padahal ketika/saat ia mengatakan itu bendanya sudah dijual pada orang lain dan kecacatan yang dimaksudkan adalah tidak benar dan ia sudah bemiat untuk tidak akan memberikan ganti rugi, apabila penjual percaya dan tertarik karenanya dan pada akhimya menyetujui pembatalan ini, maka di sini terjadi penipuan.
Apabila dilihat dart sudut unsur subjektif penipuan, yaitu maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, maka dapat disimpulkan bahwa hutang itu diberikan/dibuat atau piutang itu dihapuskan adalah untuk kepentingan penipu sendiri maupun juga orang lain. Orang lain ini bisa juga orang yang terlibat dalam penipuan ini, misalnya pelaku pembantunya.
Dalam membuat hutang atau menghapuskan piutang, tidak dipersoalkan, apakah perjanjian seperti itu sah ataukah tidak menurut hukum, walaupun dari sudut hukum perjanjian dengan causa yang seperti itu adalah batal demi hukum. Hoge Raad dalam suatu arrestnya (14-1-1918) menyatakan bahwa “tidak menjadi persoalan apakah hutang yang dibuat itu mempunyai sebab/causa yang sah”. Maksudnya arrest itu ialah bahwa untuk menerapkan penipuan tidak perlu diper¬soalkan, artinya tidak perlu dibuktikan dalam persidangan tentang sah atau tidaknya perjanjian yang telah dibuat itu. Menurut hemat saya arrest itu sungguh tepat, karena apabila sudah terbukti dakwaan penipuan terdakwa dipidana dengan putusan tetap, maka perjanjian itu batal demi hukum.

d. Upaya-upaya Penipuan
1) Dengan menggunakan nama palsu (valsche naam)
Ada dua pengertian nama palsu. Pertama, diartikan sebagai suatu nama bukan namanya sendiri melainkan nama orang lain. Misalnya Abdurachim menggunakan nama temannya yang bemama Abdullah. Kedua, suatu nama yang tidak diketahui secara pasti pemiliknya atau tidak ada pemiliknya.
Misalnya orang yang bemama Gino menggunakan nama Kempul. Nama Kempul tidak ada pemiliknya atau tidak diketahui secara pasti ada tidaknya orang yang menggunakannya.
Banyak orang menggunakan suatu nama dari gabungan beberapa nama, misalnya Abdul Mukti Ahmad. Apakah menggunakan nama palsu, jika ia mengenalkan diri pada seseorang dengan nama Mukti Ahmad? Dalam hal ini kita harus berpegang pada nama yang dikenal oleh masyarakat luas. Andaikata ia dikenal di masyarakat dengan nama Abdul Mukti, maka ia mengenalkan diri dengan nama Mukti Ahmad itu adalah menggunakan nama palsu.
Bagaimana pula jika seseorang menggunakan nama orang lain yang sama dengan namanya sendiri, tetapi orang yang dimaksudkan itu berbeda. Misalnya seorang penjaga malam bemama Markaban mengenalkan diri sebagai seorang dosen bernama Markaban, Markaban yang terakhir benar-benar ada dan diketahuinya sebagai seorang dosen. Di sini tidak menggunakan nama palsu, akan tetapi menggunakan martabat/kedudukan palsu.
2) Menggunakan martabat/kedudukan palsu (valsche hoedanigheid)
Ada beberapa istilah yang sering digunakan sebagai terjemahan dari perkataan valsche hoedanigheid itu, ialah: keadaan palsu, martabat palsu, sifat palsu, dan kedudukan palsu. Adapun yang dimaksud dengan kedudukan palsu itu adalah suatu kedudukan yang disebut/digunakan seseorang, kedudukan mana menciptakan/mempunyai hak-hak tertentu, padahal sesungguhnya ia tidak mempunyai hak tertentu itu.
Jadi kedudukan palsu ini jauh lebih luas pengertiannya daripada sekedar mengaku mempunyai suatu jabatan tertentu, seperti dosen, jaksa, kepala, notaris, dan lain sebagainya. Sudah cukup ada kedudukan palsu misalnya seseorang meng aku seorang pewaris, yang dengan demikian menerima bagian tertentu dari boedel waris, atau sebagai seorang wali, ayah atau ibu, kuasa, dan lain sebagainya.
Hoge Raad dalam suatu arrestnya (27-3-1893) menyatakan bahwa “perbuatan menggunakan kedudukan palsu adalah bersikap secara menipu terhadap orang ketiga, misalnya sebagai seorang kuasa, seorang agen, seorang wali, seorang kurator ataupun yang dimaksud untuk memperoleh kepercayaan sebagai seorang pedagang atau seorang pejabat”.
3) Menggunakan tipu muslihat (listige kunstgrepen) dan 4) rangkaian kebohongan (zamenweefsel van verdichtsels)
Kedua cara menggerakkan orang lain ini sama-sama bersifat menipu atau isinya tidak benar atau palsu, namun dapat menimbulkan kepercayaan/kesan bagi orang lain bahwa semua itu seolah-olah benar adanya. Namun ada perbedaan, yaitu pada tipu muslihat berupa perbuatan, sedangkan pada rangkaian kebohongan berupa ucapan/ perkataan. Tipu muslihat diartikan sebagai suatu perbuatan yang sedemikian rupa dan yang menirnbulkan kesan atau kepercayaan tentang kebenaran perbuatan itu, yang sesungguhnya tidak benar. Karenanya orang bisa menjadi percaya dan tertarik atau tergerak hatinya. Tergerak hati orang lain itulah yang sebenamya dituju oleh si penipu, karena dengan tergerak hatinya/terpengaruh kehendaknya itu adalah berupa sarana agar orang lain (korban) berbuat menyerahkan benda yang dimaksud.
Hoge Raad memberikan pengertiannya tentang tipu muslihat tidak jauh berbeda dengan apa yang diuraikan di atas. Dalam arrestnya (30-1-1911) HRmenyatakan bahwa “tipu muslihat adalah perbuatan-perbuatan yang menyesatkan, yang dapat menimbulkan dalih-dalih yang palsu dan gambaran-gambaran yang keliru dan memaksa orang untuk menerimanya.
Dari perkataan listige kunstgrepen atau tipu muslihat, maka perbuatan yang bersifat menipu itu harns lebih dari satu, di mana biasanya yang satu berhubungan dengan yang lain. Akan tetapi dalam praktik bisa terjadi dengan satu perbuatan saja, yang biasanya diikuti dengan rangkaian kebohongan. Hal ini dapat diketahui dari suatu arrest HR (25-10-1909) bahwa “tipu muslihat tunggal adalah cukup. Undang-undang sering menggunakan kata-kata jamak untuk pengertian tunggal”.
Dari perkataan rangkaian kebohongan menunjukkan bahwa kebohongan atau ketidakbenaran ucapan itu (seolah olah benar adanya bagi korban lebih dari satu. Karena merupa kan rangkaian, maka kata bohong yang satu dengan bohonu yang lain mempunyai satu hubungan atau kaitannya. di mana yang satu menirnbulkan kesan mernbenarkan atau mengucapkan yang lain.
Jadi rangkaian kebohongan mempunyai unsur: (1) berupa perkataan yang isinya tidak benar, (2) lebih dati satu bohong, dan (3) bohong yang satu menguatkan bohong yang lain
Ketidakbenaran yang terdapat pada tipu muslihat maupun rangkaian kebohongan harns telah ada pada saat melakll kan tipu muslihat dan lain-lain. Karena itu tidak mungkin terjadi dalam hal si peminjam tidak mernbayar hutangnya, walaupun niatnya untuk tidak membayar lunas dan hutangnya itu pada banyak orang dan hampir semua tidak dibayarnya Sebab ketidakbenarannya itu, misalnya dengan janji-janji memberi bunga dan akan membayar tepat waktu (yang ternyata kemudiannya tidak), janji-janji mana belum terbukti ketidakbenarannya pada saat mengemukakannya/mengucapkannya.
Bagaimana dengan mengeluarkan cek atau bilyet giro yang temyata waktu diuangkan tidak ada dananya? Bila pada saat menerbitkan cek atau bilyet giro itu dananya tidak ada atau tidak cukup, dan keadaan ini tidak diberitahukan, yang berarti ketidakbenaran itu telah ada pada saat itu, dan oleh karena orang yang menerbitkan cek harus ada/cukup dananya, maka perbuatan ini dapat dikualifikasikan sebagai penipuan. Pendapat ini sesuai dengan keputusan MA (15-11-1975 No. 133 K/KR/1973), yang menyatakan bahwa “seseorang menyerahkan cek, padahal ia mengetahui bahwa cek itu tidak ada dananya, perbuatannya merupakan tipu muslihat sebagai termaksud dalam pasal 378 KUHP.
Dalam masyarakat seting terjadi orang menyerahkan cek atau bilyet giro mundur, artinya cek tersebut diberikan tanggal untuk beberapa hari ke belakang dari saatmengeluarkan/ menerbitkannya. Misalnya pada tanggal 1-1-1995 A menerbitkan cek untuk B, tapi ditulis tanggal 15-1-1995. Pada tanggal 16-1-1995 di bank ternyata dananya tidak ada atau tidak cukup. Apabila didasarkan pada pendapat MA tadi, maka perbuatan itu adalah sebagai tipu muslihat, dan ini berarti penipuan.
Dalam menghadapi kasus cek atau bilyet giro kosong, tidak dapat disama-ratakan. Pendapat MA itu tidak berlaku untuk seluruh peristiwa, tapi harus melihat kejadian demi kejadian. Dalam contoh di atas, apabila ketidakadaan dananya telah diberitahukan kepada penerima cek, dan ia telah mengerti, maka dalam peristiwa ini tidak ada sesuatu yang tidak benar atau palsu, ini bukan tipu muslihat, karena itu bukan penipuan. Bila pada tanggal 1-1-1995 ketika menerbitkan cek itu, dananya memang diketahuinya tidak ada dan hal ini sengaja tidak diberitahukan kepada penerima cek, maka di sini telah terjadi tipu muslihat, dan karenanya merupakan penipuan.
Terhadap tipu muslihat, kesengajaan adalah sangat penting. Dalam contoh yang terakhir itu ia harus ada kesengajaan untuk tidak memberitahukan tentang ketidakadaan dananya. Wujud tipu muslihat dalam contoh ini adalah berupa tidak memberitahukan. Hams ada kesengajaan yang ditujukan pada perbuatan tidak memberitahukan, berhubung karena dalam rumusan penipuan kesengajaan (sebagai maksud) ditempatkan mendahului unsur tipu muslihat. Hal ini sesuai dengan putusan MA tersebut di atas, dengan disebutnya kalimat “padahal ia mengetahui” menunjukkan bahwa kesengajaan itu ada baik terhadap ketidakadaan dananya maupun terhadap perbuatan tidak memberitahukannya.

ad.2. Unsur Subjektif Penipuan
a. Maksud untuk Menguntungkan Diri Sendiri atau Orang Lain
Maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan menggerakkan harus ditujukan pada menguntungkan diri sendiri atau orang lain, adalah berupa unsur kesalahan dalam penipuan. Kesengajaan sebagai maksud ini selain harus ditujukan pada menguntungkan diri, juga ditujukan pada unsur lain di belakangnya, seperti unsur melawan hukum, menggerakkan, menggunakan nama palsu dan lain sebagainya. Kesengajaan dalam maksud ini harus sudah ada dalam diri si petindak, sebelum atau setidak-tidaknya pada saat memulai perbuatan menggerakkan.
Menguntungkan artinya menambah kekayaan dari yang sudah ada. Menambah kekayaan ini baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

b. Dengan melawan hukum
unsur maksud sebagaimana yang diterangkan di atas, juga ditujukan pada unsur melawan hukum. Maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melakukan perbuatan menggerakkan haruslah berupa maksud yang melawan hukum. Unsur maksud dalam rumusan penipuan ditempatkan sebelum unsur melawan hukum, yang artinya unsur maksud itu juga hams ditujukan pada unsur melawan hukum. Oleh karena itu, melawan hukum di sini adalah bempa unsur subjektif. Dalam hal ini sebelum melakukan atau setidak-tidaknya ketika memulai perbuatan menggerakkan, petindak telah memiliki kesadaran dalam dirinya bahwa menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melakukan perbuatan itu adalah melawan hukum. Melawan hukum di sini tidak semata-mata diartikan sekedar dilarang oleh undang-undang atau melawan hukum formil, melainkan harus diartikan yang lebih luas yakni sebagai bertentangan dengan apa yang dikehendaki masyara.kat, suatu celaan masyarakat.
Karena unsur melawan hukum ini dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, maka menjadi wajib dibuktikan dalam persidangan. Perlu dibuktikan ialah si petindak mengerti maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan menggerakkan orang lain dengan cara tertentu dan seterusnya dalam mmusan penipuan sebagai dicela masyarakat.

B. PENIPUAN RINGAN
Penipuan ringan (lichte oplichting) dirumuskan dalam pasal 379 yang berbunyi:
Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 378 jika benda yang diserahkan itu bukan ternak dan harga dati benda, hutang atau piutang itu tidak lebih dati Rp 250,00 dikenai sebagai penipuan ringan, dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 900,00
Faktor yang menyebabkan penipuan sebagaimana dimmuskan di atas menjadi ringan adalah:
  1. Benda objek bukan temak, dan
  2. Nilai benda objek tidak lebih dati Rp 250,00.
Terhadap ternak walaupun nilainya kurang dari Rp. 250,00 tidak dapat menjadi penipuan ringan, sama seperti pada pencurian ringan, penggelapan ringan dan tindak pidana mengenai harta bend a ringan lainnya, disebabkan nilainya yang khusus. Sudah diterangkan di bagian muka, bahwa bagi masyarakat kita temak dipandang mempunyai nilai khusus, mempunyai nilai sosial yang lebih tinggi dari binatang lainnya. unsur-unsur penipuan ringan adalah:
1. Semua unsur penipuan pasal 378 dan
2. Unsur-unsur khusus, yakni:
  • benda objek bukan temak dan
  • nilainya tidak lebih dari Rp 250,00
selain ada penipuan (oplichting) ringan, ada lagi penipuan (bedrog) ringan dalam hal jual beli yang dilakukan oleh penjual sebagaimana diatur dalam pasal 384 yang rumusannya:
Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 383 dikenai pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp 900,00 jika jumlah keuntungan tidak lebih dari Rp 250,00.
Faktor yang menyebabkan diperingannya kejahatan pasal 384 tersebut adalah juga terletak pada nilai objeknya kurang dari Rp 250,00 adalah berupa nilai batas tertinggi bagi kejahatan-kejahatan ringan.

C. PENIPUAN DALAM HAL JUAL BELI
Dalam hal ini ada 2 bentuk penipuan, yakni yang dilakukan oleh pembeli diatur dalam pasal 379a dan yang dilakukan oleh penjual diatur dalam pasal 383 dan 386.

1. Penipuan yang Dilakukan Pembeli
Pasal 379a merumuskan sebagai berikut:
Barang siapa menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan untuk membeli benda-benda, dengan maksud supaya tanpa dengan pembayaran seluruhnya, memastikan kekuasaannya terhadap benda-benda itu, untuk diri sendiri maupun orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
Tindak pidana yang dirumuskan dalam pasal 379a tersebut oleh UU tidak diberi kualifikasi tertentu. Di luar UU, orang-orang memberikan kualifikasi dengan flesentrekkerij.
Adapun kejahatan itu baru dimuat dalam KUHP pada tahun 1930, karena sejak tahun itu tampak ada gejala buruk dalam masyarakat mengenai hal pernbelian barang-barang oleh pembeli. Gejala buruk yang dimaksud adalah berupa pembeli yang sudah berniat untuk tidak membayar lunas harga barang tetapi ia sudah memastikan untuk menguasainya, yang oleh pernbentuk undang-undang dinilai suatu perbuatan yang mernbahayakan suatu kepentingan hukum dan dapat diatasi dengan menetapkan suatu sanksi pidana apabila dijadikan sebagai mata pencaharian dan kebiasaan.
Kejahatan ini terjadi apabila pembelian tidak dibayar secara kontan. Model pembelian secara mencicil atau kredit ini memang sudah lama dikenal di kalangan masyarakat. Karena benda yang dibeli semula sudah diserahkan, apabila harga tidak dibayar, akan merugikan penjual, dan hal ini masih berada dalam lapangan hukum perdata, berupa wanprestasi. Tetapi bila dijadikan suatu mata pencaharian atau kebiasaan, yang semula sudah mempunyai maksud untuk menguasai bend a itu tanpa dengan mernbayar lunas, maka merupakan tindak pidana.
Rumusan tindak pidana dalam pasal 379a tersebut terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur-unsur objektif:
  1. perbuatan membeli,
  2. benda-benda, dan
  3. 3) dijadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan.
b. Unsur-unsur subjektif, berupa maksud yang dilakukan:
1) pada menguasai benda itu bagi:
  • diri sendiri, atau
  • orang lain, dengan
2) tidak membayar lunas harganya.

1) Perbuatan Membeli
Perbuatan ini terjadi dalam hal perikatan hukum jual beli.
Dalam KUHPerdata (pasal1457), yang disebut dengan jual beli adalah suatu persetujuan di mana pihak yang satu (disebut penjual) mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda dan pihak yang lain (disebut pembeli) untuk mernbayar harga yang telah dijanjikan.
Dalam hukum perdata, azas perikatan adalah kesepakatan. Perikatan hukum jual beli terjadi pada saat kesepakatan seperti yang dimaksudkan di atas itu tercapai. Dalam hukum adat azas perjanjian adalah terang dan kontan. Perjanjian jual beli terjadi bila pernbayaran dan harga telah nyata-nyata telah diserahkan dan telah diterima oleh masing-masing pihak. Pelaku tindak pidana adalah pembelinya. Dalam perikatan hukum jual beli, pernbeli mempunyai kewajiban untuk mernbayar harga, pernbayaran mana dapat dilakukan secara kontan atau tidak. Dalam hukum perdata yang mendasarkan perjanjian pada azas kesepakatan, bila telah tirnbul kesepakatan, perjanjian jual beli itu telah terjadi, walaupun harga belum dibayar lunas dan barang sudah diserahkan. Karena perjanjian sudah tirnbul, berakibat hak atas barang sudah beralih kepada pernbeli. Namun menurut redaksi pasal 379a, tidak tampak secara jelas hak tersebut apakah telah beralih ataukah belum ke tangan pernbeli, dalam arti bahwa apakah perikatan jual beli seperti itu sebagai syah ataukah tidak.
2) Objeknya: Benda-benda atau Barang-barang
Perikatan hukum jual beli dapat terjadi terhadap benda bergerak dan benda tetap. Dalam hal kejahatan ini, benda objek adalah bend a bergerak, karena untuk benda tidak bergerak seperti tanah pekarangan, tidak dapat berpindah kekuasaan sebagaimana arti yang sebenarnya. Dari perkataan memastikan kekuasaannya dalam rumusan kejahatan ini, membuktikan bahwa benda yang bisa dipastikan kekuasaannya beralih dalam arti yang sebenarnya itu adalah terhadap benda-benda bergerak.
Objek benda di sini tidak cukup dengan satu benda. Oleh karena di samping dirumuskan dalam bentuk jamak (goederen), juga ternyata dari un sur kebiasaan, yang menun¬ukkan pembelian itu hams dilakukan lebih dari satu kali. Bila pembelian harus dilakukan bemlang kali, berarti jenis benda atau wujud benda adalah terhadap benda yang berlainan atau tidak sama. Benda yang berl.ainan berarti ada lebih dari satu benda.
3) Sebagai Mata Pencaharian (Beroep) atau Kebiasaan (Gewoonte)
Antara mata pencaharian dengan kebiasaan ada perbedaan pokok, yakni pada kebiasaan terjadinya pembelian harus lebih dari satu kali. Sedangkan pada mata pencaharian terjadinya pembelian itu cukup hanya satu kali saja, namun dari pembelian yang satu kali itu atau dari hal lain yang berhubungan dengan pembelian itu dapat disimpulkan bahwa akan dilakukannya kembali (Kartanegara, I:247). Misalnya telah terjadi pembelian tanpa pembayaran tunai, dan ternyata bendanya sudah dijual lagi secara kontan pada tengkulak dan ada kesanggupan/perjanjian dengan tengkulak itu bahwa akan dikirim benda yang sejenis berikutnya. Kesanggupan/ perjanjian dengan tengkulak akan mengirimkan/menjual lagi benda yang sama adalah menunjukkan bahwa akan dilakukan lagi pembelian berikutnya.
Walaupun pembelian sebagai mata pencaharian ini cukup terjadi satu kali dengan syarat yang dernikian, narnun dalam praktik, sarna dengan kebiasaan bahwa pembelian itu terjadinya lebih dari satu kali.
4) Maksud untuk Memastikan Kekuasaan atas Benda bagi Dirinya Sendiri maupun Orang Lain tanpa Membayar Lunas
Unsur maksud berupa unsur kesalahan. Tentang unsur ini telah dibicarakan di muka. Maksud petindak di sini hams ditujukan kepada:
1) memastikan menguasai benda, baik bagi dirinya rnaupun
orang lain, dan
2) tanpa membayar lunas.
Dalam hal yang pertarna, maksud itu ditujukan untuk memastikan menguasai benda, bukan memiliki benda. Apa yang dimaksud dengan menguasai benda telah diterangkan lebih jauh dalam pembicaraan penggelapan di muka.
Perihal menguasai benda bagi orang lain, tidak diperlukan syarat agar benda tersebut nyata-nyata telah berada dalam kekuasaan orang lain itu. Orang lain di sini adalah setiap orang selain petindak. Dalam hal ini pelaku pembcmtu adalah termasuk dalam pengertian orang lain, dengan dasar pernikiran bahwa pelaku pembantu tidak melakukan keseluruhan perbuatan membeli.
Perbuatan pelaku pembantu adalah berupa perbuatan mempermudah dalam terjadinya jual beli. Hal ini terjadi misalnya ia ikut membantu dalam hal membawa atau mengangkat benda dan lain sebagainya.
Maksuq ini juga harus ditujukan pada unsur tidak membayar lunas, yang maksud mana sebelum atau setidaknya pada saat mulanya perbuatan mernbeli sudah ada di dalam diri petindak.
Dalam praktik adalah sulit untuk membuktikan adanya dan kapan timbulnya maksud seperti itu. Satu dan lain hal karena maksud adalah berupa unsur batiniah (subjektif) yang tidak tampak atau tersembunyi. Suatu alat bukti yang paling tepat untuk pernbuktian adalah berupa keterangan terdakwa, namun keterangan yang isinya pengakuan bersalah hampir dapat dipastikan sulit untuk didapatkan. Mengingat sifat untuk menghindari kesusahan atau kesulitan yang ada pada setiap orang. Untuk mernbantu, barangkali dapat digunakan sebagai pedoman suatu putusan Hof Amsterdam (29-9-1938) yang menyatakan bahwa: “Maksud ini ada, jika seorang pembeli menyadari bahwa ia tidak akan dapat membayar pembelian dengan kredit atas barang kanan kiri tanpa memberitahukan pada leveransir mengenai keadaannya yang tidak baik, akan tetapi dengan cara hidupnya menimbulkan kesan seolah-olah kehidupannya baik, dan dengan dernikian memperoleh kepercayaan yang tidak sebenarnya.
Untuk memperjelas jurisprodensi tersebut dalam usaha pernbuktian adanya maksud yang dernikian, maka perlu dibuktikan tentang:
a. Bagaimana dengan pekerjaannya dan penghasilan yang diperolehnya?
b. Apakah dengan penghasilannya itu, dapat ataukah tidak ia membeli benda tersebut dengan membayar secara kredit?
c. Bagaimana pula tampak cara kehidupannya sehari-hari?
Apabila pertanyaan-pertanyaan tersebut, jawabannya terbukti negatif, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa si pernbeli ini pada dasarnya sebelum membeli, sudah terkan¬ung maksud untuk tidak mernbayar lunas.
Berhubung dengan jual beli yang tidak saja dapat dilakukan secara langsung atau tatap muka, tetapi dapat juga dilakukan melalui pesanan, baik melalui surat maupun telepon dan lain sebagainya. Maka timbul persoalan yang berhubungan dengan relatif kompetensi peradilan, yakni tentang di mana tempat kejahatan itu terjadi.
Bagi pernbelian langsung tidak menjadi persoalan, karena pesanan/pembelian dan penyerahan benda dilakukan di tempat yang sama. Tetapi ada suatu kesulitan pada pembelian yang antara tempat melakukan pesanan dengan tempat penyerahan barang tidak sama.
Tindak pidana ini adalah berupa tindak pidana formil.
Untuk menentukan kapan kejahatan terjadi adalah bergantung sepenuhnya pada unsur perbuatan yang dilarang. Dalam kejahatan ini perbuatan yang dilarang adalah berupa membeli. Dengan dernikian kejahatan yang terjadi adalah di tempat di mana terjadinya pembelian itu, atau dengan kata lain di tempat mana terjadinya perjanjian jual beli itu.
Sebagaimana yang sudah ditera,ngkan di atas, bahwa menurut hukum perdata bahwa perjanjian itu berazaskan kesepakatan, maka pembelian atau perjanjian jual beli itu terjadi di tempat mana kesepakatan itu dilakukan. Dengan dernikian, kejahatan terjadi adalah di mana tempat kesepakatan itu dilakukan, tanpa perlu memperhatikan di mana benda diserahkan.
Agak berbeda apabila dilihat dari hukum adat, yang mendasarkan azas kontan dan terang. Menurut azas ini, pembelian atau perjanjian jual beli itu tirnbul pada saat secara nyata benda diserahkan. Oleh karena itu, kejahatan ini terjadi pada saat penyerahan benda dan di tempat mana benda diserahkan.
Dengan tanpa mempersoalkan pembelian menurut hukum mana yang diberlakukan, kiranya dapat dipahami suatu arrest HR (5-2-1934) yang menyatakan bahwa “kejahatan ini dilakukan di tempat di mana pesanan-pesanan tertulis itu dikirim dan di mana benda diserahkan”.
Pendapat Hoge Raad ini tidak menimbulkan masalah sepanjang tempat pesanan adalah sarna dengan tempat di mana benda diserahkan. Akan menirnbulkan masalah apabila kedua tempat itu berbeda. Untuk mengatasi kesulitan ini, akan lebih baik jika didasarkan pada hukum yang berlaku dalam hal pernbelian itu, seperti yang sudah diterangkan di atas.

2. Penipuan yang Dilakukan oleh Penjual
Penipuan yang dilakukan oleh penjual adalah diatur dalam pasal 383, 384, dan 386.
a. Pertama, pasal 383 yang merumuskan:
Diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan, seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli:
1. karena sengaja menyerahkan benda lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli, dan
2. mengenai jenis, keadaan atau jumlah benda yang diserahkan, dengan menggunakan tipu muslihat.
Kejahatan sebagaimana yang dirumuskan tersebut, apabila dirinci, terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
1) Unsur-unsur Objektif
a) petindaknya: seorang penjual,
b) perbuatannya: berbuat curang,
c) terhadap pembeli, dan
d) upaya-upayanya:
(1) menyerahkan bend a lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli, dan
(2) dalam mempergunakan tipu muslihat mengenai: jenis, keadaan, dan jumlah benda yang diserah¬kan.
2) Unsur Subjektif: Dengan Sengaja
Penjual adalah merupakan unsur kualitas tertentu yan melekat pada pribadi seseorang, menunjukkan bahwa kejahatan ini terbatas bagi orang-orang yang memiliki kualitas itu yang hanyalah ada dalam hubungan jual beli saja. Akan tetapi menurut Hoge Raad dalam salah satu arrestnya (19-6-1951) menyatakan bahwa “kejahatan ini dapat juga terjadi dalam hal tukar menukar barang” . Alasannya bahwa sifat penipuannya dalam kejahatan ini adalah terletak pada benda-benda yang diserahkan, dan bukan pad benda-benda yang dijual pendapat ini juga tampak dalam arrest jauh sebelumnya (8¬10-1917) yang menyatakan bahwa “berbuat curang itu hams mengenai benda yang diserahkan dan bukan mengenai bend a yang dijual”. Tampaknya HR memberikan tafsiran seeara luas perihal jual beli, dengan alasan kejahatan ini adalah mengenai larangan penipuan dalam perdagangan, maka pengertian membeli harus diartikan seeara luas. Dalam perdagangan tidak saja terdapat perbuatan jual beli, melainkan juga perbuatan lain-lain yang ada hubungannya dengan perdagangan, termasuk di dalamnya perjanjian tukar menukar benda.
Sifat penipuannya atau perbuatan curangnya yang dilakukan oleh penjual dari kejahatan ini terletak pada:
1) ia sengaja menyerahkan benda yang lain dari yang ditentukan oleh pembeli, dan
2) ia dalam menyerahkan benda itu melakukan tipu muslihat mengenai: jenis benda, keadaan benda dan jurnlah benda.
Walaupun dalam rumusan kejahatan ini, tidak temyata dan tampak tidak penting bagaimana nilai benda lain yang diserahkan pada pembeli. Namun kalau kita berpikir bahwa dibentuknya kejahatan ini oleh pembentuk UU berlatar belakang pada perlindungan hukum bagi pembeli, maka dapat dipastikan bahwa benda-benda lain yang diserahkan itu adalah benda-benda yang dinilai oleh pembeli sebagai merugikan, dan dinilai oleh penjual sebagai yang menguntungkan, dan tidak terhadap benda-benda yang dinilai sebaliknya. Latar belakang nilai yang dipandang oleh penjual sebagai menguntungkan dan oleh si pembeli sebagai merugikan ini lebih nampak pada rumusan pasal 384. Sebagai faktor yang menyebabkan kejahatan dalam pasal ini menjadi kejahatan ring an karena terletak pada nilai keuntungan yang diperoleh penjual tersebut.
Kejahatan ini seringterjadi jika pembeli kurang waspada.
Dalam mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya penjual dalam menjual benda-benda dagangannya, kadang-kadang dengan mengurangi timbangan, sehingga hasil timbangannya lebih sedikit. Di pasar buah-buahan, kadang terjadi penjual mencampur buah yang dibeli dengan buah yang bentuknya sama tetapi rasanya lain dari yang ditunjukkan/diberikan pada pembeli untuk dicoba/contoh promosi.
Unsur perbuatan yang dilarang yakni berbuat curang (bedreigen), yang ada ahli menyebutnya dengan menipu, dengan kecurangan, adalah berupa perbuatan yang tidak jujur. Perbuatan ini dirumuskan sebagai perbuatan yang abstrak, yang bentuk sebenarnya tergambar dalam cara melakukannya, yaitu menyerahkan benda lain dari yang ditunjuk, dengan tipu muslihat mengenai jenis, keadaan dan jumlah barang yang diserahkan.
Mengenai pengertian tipu muslihat dalam kejahatan ini mempunyai arti yang tidak berbeda dengan tipu muslihat dalam pasal 378, yang pada dasamya membohongi orang lain dengan perbuatan, dalam hal ini perbuatan menyerahkan, yang sifatnya bohong atau menipunya sudah disebutkan di muka.
Penipuan (bedrog) jenis ini ada dalam bentuk ringan sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 384, yang menyatakan: “bila jumlah keuntungan diperoleh tidak lebih dari Rp 250,00 diancam dengan pidana penjara setinggi-tingginya 3 bulan atau denda Rp 900,00 sebagai kejahatan ringan”.
b. Pasal 386, penipuan yang dilakukan penjual kedua
Penipuan (bedrog) yang dilakukan oleh penjual terhadap pembeli lainnya diatur dalam pasal 386 yang merumuskan sebagai berikut:
(1) Barang siapa menjual, menawarkan atau menyerahkan benda makanan, minuman, atau obat-obatan yang diketahui bahwa itu palsu dan menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
(2) Bahan rnakanan, minurnan, atau obat-obatan itu dipalsu, jika nilainya atau faedahnya rnenjadi berkurang karena sudah dicampur sesuatu bahan lain.
Ayat kedua dari pasal 386 bukan merupakan rurnusan tindak pidana, melainkan menerangkan tentang syarat kapankah rnakanan, minuman, dan obat-obatan sebagai dipalsu, yang dalarn hal ini disebutkan ialah jika: nilainya atau faedahnya rnenjadi berkurang setelah dicampur dengan bahan lain. Berkurangnya nilai adalah akibat langsung dari dicampumya dengan bahan lain.
Bagairnana jika karena dicampur itu nilainya hilang sama sekali? Jika kita dasarkan pada ratio dibentuknya kejahatan ini adalah untuk rnelindungi kepentingan hukurn bagi masyarakat atas benda makanan dan minuman dan obat-obatan yang dipalsu, maka terhadap kasus itu pun dipidana.
Jadi walaupun diearnpur, jika nilai atau faedahnya tidak berkurang, maka di sini tidak terjadi pernalsuan bahan makanan, minuman, atau obat-obatan, karenanya bukan pelanggaran terhadap pasal ini. Karena ayat pertarna disebutkan dipalsu merupakan unsur, maka hal berkurangnya nilai atau faedah ini haruslah dibuktikan.
Rumusan kejahatan di atas jika dirinci, maka terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
1) Unsur-unsur objektif:
a) Perbuatan: (1) menjual,
(2) menawarkan, dan (3) menyerahkan.
b) Objeknya: (1) benda makanan,
(2) benda minuman, dan (3) benda obat-obatan.
c) Benda-benda itu dipalsu;
d) Menyembunyikan tentang palsunya benda-benda itu.

2) Unsur-unsur subjektif:
Diketahuinya bahwa benda-bend a itu dipalsu.
Berbeda dengan kejahatan yang dirumuskan dalam pasal 383, kejahatan yang dirumuskan dalam pasal 386 ini tidak disebutkan petindaknya seorang penjual. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kejahatan ini tidak saja terjadi dalam hal jual beli, tetapi dapat juga terjadi dalam hal perbuatan hukum lainnya. Hal ini ternyata dari unsur perbuatannya tidak saja menjual, tetapi juga menyerahkan dan menawarkan, yang tidak selalu terjadi dalam hal jual beli belaka. Perbuatan menawarkan bisa terjadi sebelum perbuatan menjual maupun menyerahkan, dapat diartikan sebagai perbuatan permulaan atau mendahului perbuatan menjual atau menyerahkan.
Perbedaan lain yakni, korban menurut pasal 383 disebutkan sebagai pembeli, jadi orang tertentu. Sedangkan korban dalam pasal 386 tidak disebutkan, artinya setiap orang. Tetapi dari unsur perbuatan yang dilarang, maka sesungguhnya sudah dapat diketahui bahwa korbannya adalah pembeli, orang yang menerima penawaran dan orang yang menerima penyerahan benda. Pengertian perbuatan menyerahkan di sini mempunyai arti yang sarna dengan menyerahkan dalam pasal 378. Perbedaannya adalah hanya pada siapa yang melakukan perbuatan menyerahkan. Dalam pasal 386 yang menyerahkan adalah petindak, dan pasal 378 adalah korban atau orang lain selain petindak.
Apa yang dimaksud dengan benda makanan dan minuman adalah diperuntukkan bagi manusia, dan menurut fungsi atau tujuannya pada umumnya dan bukan tergantung dari si pembeli (arrest HR:9-5-1892). Dalam arrest HR lainnya (19-12-1921) yang menyatakan bahwa bahan makanan adalah yang diperuntukkan oleh orang, termasuk juga bahan yang dapat dipakai secara langsung akan tetapi yang harus dipersiapkan terlebih dulu.
Ketiga objek kejahatan ini harus terbukti secara nyata sebagai palsu. Sedangkan pengertian palsu diterangkan dalam ayat ke 2. perihal siapa yang memalsukan benda-benda itu dalam pasal ini bukan merupakan hal yang penting. Melainkan yang menjadi unsur di sini adalah petindak mengetahui bahwa benda-benda itu palsu.
Perihal diketahuinya akan palsunya benda-benda itu adalah merupakan unsur subjektif. Sedangkan tentang menyembunyikan perihal palsunya adalah berupa unsur objektif. Menyembunyikan artinya tidak memberitahukan, berupa perbuatan pasif. Memberitahukan perihal palsunya kepada pembeli, orang yang ditawari dan orang yang menerima benda itu sesungguhnya adalah kewajiban hukumnya, yang bila kewajiban hukumnya itu tidak dilaksanakannya maka ia dipersalahkan telah melakukan perbuatan pasif.
Bagaimana jika tentang keadaan palsu dari benda makanan, minuman, dan obat-obatan itu, telah diberitahukan kepada orang lain, tetapi orang lain itu tidak mengerti/tidak tahu? Dapat atau tidaknya dipidana bergantung dari keadaan-keadaan seperti:
1) Bagaimana sikap batin orang yang memberitahukan itu?
Artinya apakah pemberitahuannya itu dimaksudkan agar orang lain tersebut mengetahui yang sebenarnya ataukah hanya sekedar untuk mencari dasar pembenar belaka?
2) Apakah menurut kebiasaan yang wajar, cara pemberitahuannya itu sudah dipandang patut ataukah tidak?

Dalam kejahatan ini unsur kesalahan berupa mengetahui, atau kesengajaan, yang tidak saja ditujukan pada palsunya benda itu. Harus ada kesengajaan untuk tidak memberitahukan. Apabila tidak mernberitahukan itu terjadi karena kelalaian/culpa, maka kejahatan ini tidak terjadi.
Petindak harus mengetahui bahwa benda makanan dan sebagainya itu palsu adalah sebelum ia atau setidak-tidaknya pada saat memulai perbuatan menjual, menawarkan, atau menyerahkan.
Akibat dari perbuatan menyernbunyikan, adalah pembeli, orang yang menerima penawaran atau yang menerima benda menjadi tidak tahu tentang kepalsuan benda. Di sini harus ada hubungan sebab dan akibat. Bagaimana misalnya telah terjadi perbuatan sengaja tidak mernberitahukan kepalsuan benda, tetapi tidak berakibat orang lain itu menjadi tidak tahu, melainkan ia sudah tahu tentang kepalsuan. Berpegang pada pendapat tersebut, maka di sini tidak terjadi kejahatan.
Dalam hal harus ada causal verband antara perbuatan tidak memberitahukan dengan tidak diketahuinya tentang palsunya benda oleh karban, adalah didasarkan suatu pikiran bahwa dibentuknya kejahatan ini adalah untuk melindungi kepentingan hukum pembeli, orang yang menerima penawaran atau orang yang menerima penyerahan atas benda-benda yang dapat merugikannya dari perbuatan-perbuatan yang bersifat menipu, tidak jujur, membohongi, dan sebagainya. Merugikannya tentunya disebabkan mernbeli benda yang sebelumnya tidak diketahui tentang palsunya itu. Apabila sebelumnya ia sudah mengetahui bahwa suatu benda itu palsu, tetapi tetap saja ia membelinya, maka di sini sesungguhnya tidak ada sifat terpedaya. Atau dengan kata lain tidak ada sifat memperdaya yang dilakukan penjual, yang justru sifat ini adalah hal yang penting dalam seluruh bentuk kejahatan penipuan (bedrog).

Assalamu'alaikum..
Jika ada kritik dan saran, mohon dicantumkan ^^

Tentang Zie,.

My photo
Seorang istri sekaligus calon ibu yang memiliki nama lengkap Sus Erewati. Hobinya jualan, liat barang bagus dikit niatnya bukan dibeli untuk dipakai sendiri tapi dijual lagi :D Berusaha mengembangkan bisnis jualan barang-barang unik, wallsticker dan Sophie Paris.

Tinggalkan Pesanmu,.

Total Pageviews